Deli Serdang - Ajang pemilihan kepala desa merupakan ajang demokrasi lokal yang terjadi di desa. Dalam prosesnya pemilihan kepala desa selalu diiringi dengan berbagai dinamika sosial, politik, budaya dan ekonomi, bahkan dalam beberapa kasus pemilihan kepala desa seringkali disertai dengan konflik fisik antara
pendukung. Perebutan kekuasaan yang terjadi di desa, tidak jarang para calon kandidat menggunakan kekayaan mereka dengan berbagai cara dan tujuan untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dan memperoleh kemenangan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Komunikasi Yes, Koalisi No
|
Peran tokoh masyarakat, tokoh organisasi keagamaan, akan signifikan karena karakteristik penduduk desa cenderung patuh, percaya dan selalu mengikuti pesan dari tokoh tersebut seperti ( tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh organisasi kepemudaan dan keagamaan) Dan hal yang terkadang yang masih melekat di masyarakat adanya dinamika budaya, masyarakat masih cenderung mempercayai bahwa proses kemenangan kepala desa itu tidak hanya ditentukan oleh manusia tapi juga faktor yang tidak nampak di tengah-tengah masyarakat, seperti keyakinan masyarakat ketika ada salah satu calon kandidat yang rumahnya di datangi cahaya atau pulung dimaknai bahwasannya kandidat tersebut diyakini akan memenangkan kontestasi pemilihan kepala desa.
Oleh karena itu memahami karakteristik, kultur dan budaya masyarakat menjadi salah satu strategi untuk mendapatkan kekuasaan. Dinamika proses perebutan kekuasaan melalui pemilihan kepala desa pada tingkat desa bisa dikatakan sebagai dinamika politik yang cukup menarik dan khas sesuai dengan masyarakat desa itu sendiri dan juga dibarengi dengan karakteristik penduduk di masing-masing desa yang ada.
Penulis mencoba mencari buku - buku refrensi tentang sebuah kekuasaan dan dapatkan beberapa buku seperti buku yang berjudul "Memahami Ilmu Politik kekuasaan" karya Ramlan Surbakti Menurutnya memahami Ilmu politik dan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berfikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Dan kekuasaan sendiri merupakan salah satu konsep yang melekat pada dimensi politik. Hal itu juga disampaikan oleh seorang penulis dari Jerman kelahiran 1958 , Cornelia Funke dalam bukunya yang berjudul "Reckless" hal 94 menyebutkan, kekuasaan itu bagaikan anggur bila kau memilikinya, bagaikan racun bila kau kehilangannya.
Seperti diketahui bersama terkait masa jabatan kepala desa sudah di atur di UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang dimana telah membuka kran Demokrasi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini menunggu sebuah proses dimana pemilihan langsung dapat terlaksana sehingga dapat perbaiki proses pelayanan publik di tingkat desa, dengan adanya undang undang ini menandakan berakhirnya penyelengaraan pemerintah Desa yang dianggap tidak relevan dengan berkembangnya sistem birokrasi di Indonesia yang didasarin undang-undang no 5 Tahun 1979 tentang pemerintah desa.
Baca juga:
Anies-Gus Yahya, Cocok!
|
Lanjut, Didalam Undang - Undang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004, disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan. Namun hal tersebut di ubah kembali dengan Undang - Undang Desa No 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa 6 tahun, dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut.
Dalam perjalanannya terus dilakukan perkembangannya sehingga terdapat perubahan terhadap peraturan tentang desa yaitu dengan dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Hal ini menjadi jawaban yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah daerah untuk dapat mengisi kekosongan posisi Kepala Desa sekaligus dalam rangka implementasi Undang-Undang Desa. Dengan terbitnya Permendagri tentang UU Kepala Desa ini akan menjadi dasar hukum bagi pemerintah kabupaten untuk dapat melakukan Pemilihan Kepala Desa di daerahnya baik secara bersamaaan serta secara bergelombang nantinya. (Ari)
Baca juga:
R. Kholis Majdi: HTI Tidak Berpolitik!
|